Kejadian 15:1-18

Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.

(Kej. 15:6)

 

 

Tetap percaya di tengah kenyataan yang jauh dari harapan agaknya hal yang sulit bagi manusia abad ini. Pada umumnya manusia mendasarkan pemikirannya pada logika. Semua harus masuk akal. Tidak demikian dengan iman. Iman memampukan kita untuk tetap percaya sekalipun tidak melihat. Tetap berharap sekalipun kenyataan yang ada jauh dari apa yang kita kehendaki.

 

Narasi iman Abram menggambarkan kepada kita dialektika antara kerinduannya di tengah kenyataan belum memiliki keturunan dan janji Allah yang tampak meyakinkan. Bagi Abram, usia lanjut menjadi sebuah kemustahilan untuk dapat memiliki anak. Menariknya, Abram memilih untuk percaya. Ia tidak menggantungkan kepercayaannya kepada “janji-janji Allah”, tetapi ia mendasarkan kepercayaan dan imannya kepada “Allah yang berjanji”. Karena yang menjanjikannya adalah Allah, Abram percaya bahwa tidak akan ada pengingkaran. Sebab, bagi Allah tidak ada yang mustahil. Allah yang berjanji memenuhi janji-Nya itu ketika Abra(ha)m berusia 100 tahun saat kelahiran Ishak, anaknya. Abram hanya mampu menghidupi janji Allah itu dengan berpegang dan bersandar penuh kepada Allah sendiri. Ia mengerti pemenuhan janji itu terjadi dalam waktu dan rancangan Allah yang baik.

 

Youth, kerap kali kita terjebak untuk hanya beriman karena “janji berkat-berkat dari Allah” saja. Sebetulnya, yang tepat adalah kita beriman dan berpegang kepada “Allah yang berjanji”. Berkat dan pemenuhan janji Allah adalah dampak dari relasi kita yang benar dengan Allah. Melaluinya, kita makin diteguhkan dalam melangkah menyusuri jalan pergumulan kita masing-masing.

 

1. Apa yang menjadi keraguan dan keyakinan Abram tentang janji Tuhan?

2. Dalam hal apa Youth pernah ragu kepada Tuhan dan bagaimana dapat kembali percaya? 

 

 

Pokok Doa:

Beriman secara benar kepada Allah yang berjanji.